Berawal dari
sebuah pemahaman kuno yang diyakini benar dan kekal adanya, yang samapai saat
ini terus diwariskan kepada generasi manusia termasuk kita sendiri. Hal ini lah
yang membentuk pola,kerangka dan struktur
berpikir kita dalam menjalani kehidupan. Ini bagaikan Operating System
yang sudah diproteksi oleh program anti virus, walau tidak semua file crack dan
keygen itu merusak system, tetapi aplikasi anti virus menganggapnya berbahaya.
pasti bingung,,
lebih bingung lagi ketika kita dihadapkan pada sebuah pertanyaan “mengapa kamu
menganut agama yang kamu anut?”. Pertanyaan yang dapat disimpulkan kenapa kamu
mengapa kita menganut agama.
Ada beberapa
alasan yang akan dijawab oleh kebanyakan orang, salah satunya “karena saya
lahir dari keluarga Beragama A atau beragama B” maka dari itu takdir membawa
kita menjadi penganut kepercayaan yang abstrak ini. Tidak sedikit diantaranya
akan berpikir kritis bagaikan filsuf terkenal Socrates yang membawa banyak
diantara kita menjadi seorang rasionalis, agnostic, ataupun fanatic religion
itu sendiri.
Usaha yang luar
biasa untuk mencari pemahaman sejati tentang kehidupan kita. Kenapa kita
lahir?, untuk apa kita hidup?, menjadi rumusan masalah utama untuk sebagian
kecil orang yang haus akan misteri saat kita bernafas di bawah atmosfer bumi.
Lalu apa hasilnya..? variasi..! sebagian akan berkata A itu benar, B itu benar,
C lebih benar. Sepertinya kekritisan kita dalam berpikir tidak membawa kita
mendapatkan pemahaman sejati tetntang DIA. Ini berbeda dengan rumus standar
deviasi, Probabilitas ataupun persamaan Masa dan energy Einstein dimana rumusan
tersebut akan memberikan hasil yang sama siapapun yang menghitungnya.
Hal ini tidak
berlaku untuk hal ini, tidakkah kita menyadari bahawa selera kita turut menjadi
faktor dalam memahami berbagai jenis fakta dan informasi yang membuat persepsi
semu dipikiran kita. Mengapa tidak kita hancurkan struktur kerangka berpikir
kita untuk kembali membangun struktur yang memilki dasar untuk setiap
dimensinya, mengkesampingkan faktor selera, emosional dan ketidaksabaran dalam
berpikir.
Ingat hal ini
hanya dilakukan oleh sebagaian kecil dari kita sedangkan yang lainnya entah
mengapa mengangap jejaring social, populeritas, asmara, dan senda gurau jauh
lebih penting dari pada gelapnya ruang yang kita tempati sekarang. Atau bebrapa
seperti kepongpong yang menutup diri didalam zona nyamannya dan memngangap hal
itu adalah sesuatu yang sudah demikian adanya. Sebaiknya kita mengakui kalau
tertawa sama teman itu lebih menyenangkan dari pada baca buku filsafat. Ini
yang disebut zona nyaman kita, maukah kita beranjak dari tempat tidur kita yang
nyaman dan masuk kedalam sepiteng yang bau hanya untuk mencari tau apakah
didalam sana ada laba-laba. Beneran gak sih kalau yang monoton itu bangun pagi,
sarapan, kulia atau kerja, nongkrong, ngegosip, pacaran trus mandi, tidur dan
besok begitu lagi?
Jadi sekarang ada
tiga rumusan maslaah, pertama Mengapa ada variasi pemahaman dari cara berpikir
yang kritis?, Kedua mengapa sebagian besar dari kita enggan keluar dari zona
nyaman kita? Ketiga apakah rekonstruksi ulang kerangka berpikir kita dapat
memberikan pemahaman yang pasti?.
Rumusan maslaah
pertama dan kedua sepertinya sudah kita pahami alasanya, dan sekarang bagaimana
dengan rumusan masalah ketiga..? Masih gagal. Kenapa..? Logika dapat
direkonstruksi, tapi hati, perasaan dan emosi sulit untuk dirubah, mungkin
inilah hukum alam atau mungkin dimasa yang akan datang akan ada penjelasan yang
lebih masuk akal untuk hal ini.
Seperti halnya
pendekatan sains yang kita gunakan untuk memahami sebab akibat dari fenomena
alam semesta, membawa kita kepada contoh pertanyaan besar mungkinnkah struktur
atom air H2O yang memiliki system milyaran kali lebih rumit daripada 5 juta
transistor nano yang terdapat didalam inti prosesor computer dapat tercipta
secara probabilistic dalam tingkat kemungkinan 0,0^1juta %. Berapa besar
kemungkinannya muncul angka 1 pada masing-masing dadu jika kita melemparkan
10.000 dadu pada lemparan pertama? Sungguh Tata Surya kita triliunan kali lebih
dari sekedar dadu tersebut sehingga menciptakan holosentris yang dianggap omong
kosong oleh para petinggi gerja dimasa kejayaan katolik roma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar