Powered By Blogger

Jumat, 10 Mei 2013

Kaum Intelektual dan Sosialisme

Apa itu kaum intelektual?
Sepuluh tahun yang lalu, atau bahkan enam atau tujuh tahun yang lalu, para pembela pemikiran sosiologi Rusia yang subjektif (yakni kaum “Sosialis Revolusioner) mungkin telah berhasil menggunakan brosur terbaru dari ahli filosofi dari Austria, Max Adler, untuk kepentingan mereka. Akan tetapi, selama lima atau enam tahun terakhir, kita telah melalui “pemikiran sosiologi” yang cermat dan objektif, dan pelajaran-pelajarannya tertulis pada tubuh kita di bekas-bekas luka yang sangatlah ekspresif, dimana contoh yang paling baik dari kaum intelektual, bahkan yang datang dari pena “Marxis” Max Adler, tidak akan bisa membantu subjektivisme Rusia. Sebaliknya, nasib dari kaum subjektivis Rusia adalah sebuah argumen yang paling serius terhadap gagasan-gagasan dan kesimpulan-kesimpulan Max Adler.


































Kaum intelektual adalah sebuah kelas tersendiri – Adler menyebut mereka sebuah kelompok inter-kelas [yang dimaksud disini adalah sebuah kelompok yang tidak terikat pada satu kelas saja – Ed.], tetapi pada esensinya tidak ada perbedaan – yang eksis di dalam kerangka masyarakat borjuasi. Dan bagi Adler pertanyaannya adalah: siapa yang memiliki hak untuk memiliki jiwa dari kelas ini? Apa ideologi yang menjadi dasarnya, sebagai hasil dari fungsi sosialnya? Adler menjawab: ideologi kolektivisme.

Adler secara pasti menentang kaum Marxis yang menyangkal keberadaan kondisi-kondisi umum yang dapat menyebabkan sebuah gerakan massa kaum intelektual menuju sosialisme. Adler mengatakan, “Karena kesakralan, dan terutama, peluang untuk perkembangan kepentingan spiritual yang bebas adalah kondisi kehidupan kaum intelektual yang utama, oleh karena itu kepentingan intelektual adalah sama dengan kepentingan ekonomi. Maka, bila basis bagi kaum intelektual untuk bergabung dengan gerakan sosialis harus dicari di luar lingkupan ekonomi, ini adalah karena persyaratan eksistensi ideologi tertentu untuk kerja mental daripada isi kebudayaan sosialisme”
Terlepas dari karakter kelas seluruh gerakan (toh, gerakan hanyalah sebuah jalan!), terlepas dari gambaran partai-politik sehari-hari (toh, partai politik hanyalah sebuah alat!), sosialisme pada dasarnya, sebagai sebuah ide sosial yang universal, berarti pembebasan semua bentuk kerja otak dari segala macam belenggu dan batasan sejarah. Premis ini, visi ini, menyediakan jembatan ideologi dimana kaum intelektual Eropa dapat dan harus lewati untuk menuju ke kamp Sosial Demokrasi.  Kekeliruan utamanya, yang segera mencuat ke mata kita, adalah karakternya yang non-historis. Dasar sosial bagi kaum intelektual untuk memasuki kamp kolektivisme yang digunakan oleh Adler sudah ada sejak dulu; akan tetapi tidak ada sama sekali gerakan massa intelektual menuju Sosial Demokrasi di negara Eropa manapun.

Tetapi dia cenderung melihat terasingnya kaum intelektual dari gerakan kelas pekerja adalah karena kaum intelektual tidak memahami sosialisme. Pada satu pihak ini benar. Tetapi bila begitu apa penjelasan untuk ketidakpahaman ini, yang eksis bersama-sama dengan pemahaman mereka akan hal-hal yang lebih kompleks? Jelas, ini bukan karena kelemahan logika ideologis mereka, tetapi karena kekuatan elemen-elemen irasional di dalam psikologi kelas mereka.  Tetapi dia berpikir, dia berharap, dia yakin – dan disini sang teoritis menjadi pengkhotbah – bahwa Sosial Demokrasi Eropa akan bisa menghancurkan elemen-elemen irasional di dalam mentalitas pekerja-otak bila saja Sosial Demokrasi merekonstrusi logika hubungannya dengan mereka

Kaum intelektual tidak memahami sosialisme karena sosialisme dari hari-ke-hari tampak bagi mereka ada dalam bentuk rutinnya sebagai sebuah partai politik, seperti yang lainya. Tetapi bila kaum intelektual bisa ditunjukkan wajah sosialisme yang sesungguhnya, sebagai sebuah gerakan kebudayaan sedunia, mereka pasti akan bisa melihat harapan dan aspirasi mereka yang terbaik. Begitulah pikir Adler.

Satu-satunya cara untuk menarik kaum intelektual ke sosialisme, menurut Adler, adalah dengan mengedepankan tujuan akhir dari gerakan sosialis, di dalam keseluruhannya. Tetapi tentu saja Adler tahu bahwa tujuan akhir ini menjadi semakin jelas dan menjadi semakin lengkap seiring dengan progres konsentrasi industri, proletarianisasi strata menengah dan intensifikasi antagonisme kelas. Terpisah dari kehendak para pemimpin politik dan perbedaan-perbedaan dalam taktik nasional, di Jerman “tujuan akhir” ini berdiri dengan jauh lebih jelas dan lebih segera dibandingkan di Austria dan Itali.
 Tetapi proses sosial yang sama ini, yakni intensifikasi pertentangan antara buruh dan kapital, mencegah kaum intelektual dari menyeberang ke partai buruh. Jembatan antara kelas-kelas runtuh, dan untuk menyeberang, seseorang harus melompati sebuah jurang yang semakin dalam seiring dengan berlalunya waktu. Oleh karena ini, pararel dengan kondisi-kondisi yang secara objektif membuat lebih mudah kaum intelektual untuk memahami secara teori esensi dari kolektivisme, halangan-halangan sosial tumbuh semakin besar yang mencegah kaum intelektual untuk bergabung dengan pasukan sosialis.
 Bergabung dengan gerakan sosialis di negara maju manapun, dimana kehidupan sosial eksis, bukanlah sebuah tindakan spekulatif, tetapi sebuah tindakan politik, dan disini kondisi sosial menang melawan logika teori. Dan akhirnya ini berarti bahwa sekarang lebih sulit untuk memenangkan kaum intelektual dibandingkan kemarin, dan akan lebih sulit esok hari dibandingkan sekarang.


Sumber: The Intelligentsia and Socialism. Leon Trotsky Internet Archive
Penerjemah: Ted Sprague, Agustus 2009

Kamis, 09 Mei 2013

BERSIAPLAH UTNTUK KEDATANGAN SKYNET

Jika kamu adalah salah satu penikmat film bergenre Sci-Fi ciptaan James Cameron, Gale Anne Hurd, dan William Wisher, Jr. yang pertama kali muncul pada tahun 1984, yup Terminator. Tentunya kamu tidak asing dengan sebuah teknologi AI (artificial intelligence) tingkat tinggi di masa depan. Skynet sebentar lagi tidak hanya menjadi buah karya imajinasi dalam film saja, karena ia benar-benar akan hadir di dunia nyata.

Melalui kantor berita Reuters diketahui bahwa Intel yang diwakili oleh Collaborative Research Institute for Computational Intelligence bekerja sama dengan Technion di Haifa dan Hebrew University di Yerusalem tengah meneliti sebuah teknologi baru yang mampu meniru kemampuan otak manusia serta dapat “mempelajari” penggunanya.

Mesin yang dapat ‘belajar’ adalah sebuah kesempatan besar,” ungkap Chief Technology Officer Intel, Justin Rattner. “Disamping namanya, smartphone adalah hanya perangkat yang bodoh. Smartphone saya tidak tahu sedikitpun tentang saya ketika saya mendapatkannya.” tambahnya. “Nanti semua perangkat akan mengetahui kita per individu, mereka nantinya akan menyesuaikan dirinya untuk kita.

Penelitian ini ditujukan untuk menciptakan sebuah aplikasi baru, sebuah komputer berukuran kecil yang dapat meningkatkan kualitas kehidupan sehari-hari manusia. Salah satu contohnya seperti yang diungkapkan Rattner, misalnya ketika pengguna meninggalkan kunci mobilnya di rumah, maka di minggu pertama perangkat atau sistem akan mengingat di mana penggunanya meninggalkan kunci tersebut dan di minggu kedua ia akan mengingatkan pengguna untuk mengambil kuncinya sebelum meninggalkan rumah.

Rencananya teknologi ini benar-benar terealisasi kisaran tahun 2014 dan 2015. Memang terdengar cukup gila, tapi mungkin kita tidak bisa lagi menghentikannya. Pasalnya presiden Rattner menegaskan Intel telah menerapkan teknologi baru itu pada Adidas. Dimana teknologi tersebut dapat membantu menentukan apakah pembeli adalah laki-laki atau perempuan, dewasa atau anak-anak dan sekaligus menunjukkan sepatu yang cocok untuk orang tersebut.

Dalam waktu lima tahun semua indera manusia akan ada didalam komputer dan pada 10 tahun kita akan memiliki lebih banyak transistor dalam satu chip dari pada neuron di otak manusia.” kata Moody Eden, presiden Intel Israel.

Sumber:
http://www.reuters.com/article/2012/05/24/us-intel-israel-idUSBRE84N05520120524?feedType=RSS&feedName=technologyNews&utm_source=feedburner&utm_medium=feed&utm_campaign=Feed%3A+reuters%2FtechnologyNews+%28Reuters+Technology+News%29

Rabu, 08 Mei 2013

Jual Lontong Sayur di DPR, Anak Sekolah di Jerman

“Nir pesan makan ga?” Begitulah suara si Emak penjual lantong sayur yang biasa berkeliling dari lantai 3 sampai lantai 22 gedung Nusantara I DPR-RI. Ia tak cuma jual lontong sayur, tapi juga ada tahu isi, bakwan, kacang goreng, nasi bungkus dan tape goreng.

Biasanya, setiap pukul 09.00-10.30, jajanan si Emak sudah habis dibeli. Tapi bila tak laku, si emak terpaksa tongkrongin gedung DPR sampai sore hingga jajanannya habis terjual. Saya sudah kenal dan akrab dengan si emak sejak tahun 2010 di DPR. Kebetulan saya bekerja sebagai staf biasa di DPR-RI.

Biasanya, kalau sudah sekitar pukul 09.00 si Emak menggedor pintu dari satu ruangan keruangan yang lainnya di lantai 20, “ayoo, pada makan,.. ada lontong sayur dan nasi bungkus”, begitulah cara si Emak membujuk para pembeli di kantor.

Peminat makanan si Emak terbatas, paling yang beli para asisten angggota DPR, PNS kesekretariatan dan staf Ahli anggota. Itu pun tak semuanya, paling yang sempat beli jajanan si emak adalah yang malas ke lantai bawah, karena lumayan capek dan harganya juga mahal.

Jajanan si emak memang enak-enak rasanya. Yang paling saya suka adalah lontong sayur. Racikan lontong sayur si emak gurih dan pedasnya pas dengan lidah Timur saya. Lontongnya empuk dan terasa menyatu dengan kuah sayurnya.

Pertama kali saya membeli lontong sayur si emak, saya langsung puas. Lontong, sayur dan kuah santannya saling memadu. Apalagi dicampur dengan potongan tahu isi disiram bumbu pecal yang sudah disiapkan si emak.Di lantai 20, si emak biasanya jualan di depan pantri DPR.

Selain gurihnya lontong sayur si emak, harganya pun cocok dengan isi dompet saya dan mungkin staf yang lain, kalau satu mangkuk lontong sayur, harganya cuma Rp. 7000 perak. Begitu pun dengan tahu isinya, enak dan murah-meriah. Dengan uang Rp.2000 saja, perut sudah terasa kenyang menyesak dengan tahu isinya yang gurih dan pedas menggoda.

Hampir tiap hari si emak mengantongi hasil jajanannya sebesar Rp. 100.000-Rp. 150.000. Di balik hasil jajanannya yang pas-pasan setiap hari itu, ternyata si emak menyekolahkan anaknya yang perempuan di Jerman. Menurut si emak, anaknya dulu kuliah S1 di Universitas Indonesia (UI), dengan mengambil jurusan Sastra Jerman. Setelah itu, anaknya melanjutkan studi S2 di Jerman dengan jurusan yang sama.

Menurut nenek yang usianya hampir 70 tahun ini, banyak yang tak percaya anaknya sekolah di Jerman. Mungkin orang-orang itu berfikir, masa nenek tua, dengan hanya menjual lontong sayur, bisa menyekolahkan anaknya ke Jerman.Tapi menariknya si emak tua ini juga bisa facebook-an dengan HP LG nya, pernah saya tanya, untuk apa emak main facebook, emak bilang, dia sering komunikasi dengan anaknya pake facebook.

Pernah si emak bilang ke saya “banyak yang tak percaya Nir, kalau anak emak kuliah S2 di Jerman, tapi sudahlah biarkan saja mereka tak percaya”. Begitulah suatu waktu, si emak bercerita pada saya sambil menampakan kesedihan yang tak begitu jelas di balik urat wajahnya yang sudah keriput

Si Emak, tak saja menjajahkan cita rasa lontong sayur yang unik dan khas, tapi juga menginspirasikan daya juang orang-orang kecil yang ulet dan gigih. Si wanita tua yang memetik kesuksesan di balik tingginya gedung DPR, dan hiruk-pikuk intrik politik kekuasaan digedung para wakil rakyat itu. Selamat berjuang emak, terima kasih atas “lontong sayurnya”.

Sumber.http://sosok.kompasiana.com/2013/05/07/inspiratif-jual-lontong-sayur-anak-sekolah-di-jerman-558127.html

Sabtu, 04 Mei 2013

Mana yang lebih baik..?

Sekian lama vakum dari dunia maya ini akhirnya dapat kembali meletakkan jari-jari diatas tomol-tombol keyboard ini dengan penuh rasa asoy, soy, soy, soy...
beberapa waktu lalu saya dikirimi gambar dengan pertanyaan rumit, tetapi lumayan menantang untuk dijawab, yah ini cukup efektif unutk memijit otak kita dari kejenuhan dengan sedikit memikirkan hal berikut,


jika melihat gambar jam disamping ada sebuah pertanyan menarik:
1. mana yang lebih baik jam yang hanya tepat sekali dalam 12 jam atau jam yang tidak berfungsi sama sekali...?